Rupiah Digital BI Terbit 2024, Ini Bedanya dari Bitcoin-GoPay
Bank Indonesia (BI) akan mengakselerasi sistem pembayaran digital pada 2024 mendatang. Salah satunya melalui pengembangan ‘Rupiah Digital’ sebagai satu-satunya alat pembayaran digital yang sah di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo pada Pertemuan Tahunan BI (PTBI), Rabu (29/11) kemarin. Penerbitan road map Rupiah Digital tahap pertama akan dilakukan tahun depan.
BI akan membuat prototipe untuk menguji gagasan atau konsep dalam pengembangan perangkat lunak sebagai tulang punggung Rupiah Digital. Tahap ini disebut juga «proof of concept».
Di dalamnya, BI akan menunjuk ‘Khazanah Digital Rupiah’, yakni platform yang bisa diakses togel macau hari ini oleh bank dan non-bank terpilih atau disebut ‘wholesaler’ dan ‘retailer’.
Rupiah Digital wholesale (w-Rupiah Digital) memiliki cakupan akses terbatas dan hanya didistribusikan untuk penyelesaian transaksi wholesale seperti operasi moneter, transaksi pasar valas, serta transaksi pasar uang.
Sementara itu, Rupiah Digital ritel (r-Rupiah Digital) memiliki cakupan akses yang terbuka untuk publik serta didistribusikan untuk berbagai transaksi ritel baik dalam bentuk transaksi pembayaran maupun transfer, oleh personal/individu maupun bisnis (merchant dan korporasi).
Baca: Dunia Masih Kacau, Ini Senjata BI Amankan Rupiah Tahun Depan!
Lantas, apa bedanya Rupiah digital dengan dompet digital dan kripto?
Saat ini, ada banyak instrumen pembayaran digital yang tersedia di Indonesia. Misalnya pembayaran elektronik melalui dompet digital (e-Wallet) semacam GoPay, Ovo, Dana, dll.
Selain itu, ada juga instrumen uang digital yang marak digunakan untuk berinvestasi, seperti mata uang kripto.
Perbedaan mendasarnya bisa dilihat dari otoritas yang menerbitkan uang, format, jaminan keamanan, transparansi identitas nasabah, struktur pencatatan transaksi, dan risikonya.
Rupiah Digital merupakan Central Bank Digital Currency (CBDC) yang dikembangkan oleh BI. Konsep CBDC sendiri mulai diadopsi oleh bank sentral di beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan yang dirilis firma Deloitte, CBDC merupakan respons dari lembaga moneter dunia atas perkembangan teknologi di sektor keuangan. Salah satunya, minat masyarakat yang tinggi terhadap mata uang kripto dan instrumen pembayaran digital lain.
CBDC dinilai sebagai inovasi di sektor keuangan digital, sehingga perputaran uang di masyarakat bisa lebih efektif dan efisien, tetapi terjaga keamanannya karena dilindungi oleh otoritas keuangan yang sah di tiap negara.
Platform dompet digital yang selama ini populer digunakan oleh masayarakat Indonesia seperti GoPay, Ovo, Dana, dkk, sejatinya merupakan uang kertas dan logam fisik yang disalurkan melalui platform digital.
Dompet digital berbeda dengan mata uang, karena porsinya hanya sebagai tempat penyimpanan. Sama halnya dengan penyimpanan di mobile banking yang disediakan tiap bank.
Bedanya, dompet digital yang lebih ‘kekinian’ bisa dipakai untuk melakukan banyak instrumen transaksi melalui satu pintu. Mulai dari memesan makanan, layanan transportasi, hingga berinvestasi di dalam satu aplikasi.
Sementara itu, Rupiah Digital merupakan uang yang benar-benar diterbitkan secara virtual dan disimpan melalui platform digital. Rupiah digital tidak bisa ditarik dalam bentuk fisik.
Struktur pencatatannya juga berbeda. Uang fisik, sekalipun yang disimpan dalam dompet digital, menggunakan metode pencatatan dengan sistem manual yang tersentralisasi.
Artinya, rekam jejak transaksi uang hanya bisa diketahui oleh otoritas yang mengeluarkan uang dan pihak yang melakukan transaksi.
Sementara itu, Rupiah digital menggunakan struktur tersentralisasi dan terdesentralisasi. Pencatatannya real-time dan lebih transparan, sehingga rekam jejak perpindahan uang bisa tercatat oleh sistem secara otomatis.
Hal ini dimungkinkan oleh penggunaan teknologi blockchain pada Rupiah Digital, sama seperti yang digunakan pada mata uang kripto. Bedanya, Rupiah Digital diterbitkan oleh otoritas keuangan yang sah, sehingga dilindungi hukum dan lebih aman.
Sementara itu, mata uang kripto yang beredar selama ini dikembangkan secara privat. Struktur pencatatannya benar-benar terdesentralisasi sepenuhnya, tetapi tidak transparan dari segi identitas nasabah.
Alhasil, meski pencatatan transaksi uang tercatat secara real-time, namun nilai uang cenderung volatile karena identitas nasabah bisa dibuat anonim.
Pengembangan secara privat tanpa campur tangan otoritas yang sah juga memungkinkan penerbitan kripto lebih dikontrol oleh algoritma.
Roadmap Rupiah Digital
Dalam paparannya, BI mengatakan pengembangan ekonomi dan keuangan digital (EKD) nasional bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemanfaatan teknologi akan meningkatkan volume dan frekuensi transaksi pembayaran digital.
Selain itu, infrastruktur pembayaran dan pasar uang yang stabil, moden, aman, dan andal sesuai standar internasional juga bisa diimplementasikan.
Saat ini, BI tengah merumuskan proof of concept untuk penerbitan Rupiah Digital, setelah rancangan konsepnya dipublikasikan dan mendapat masukan dari industri dan masyarakat.
Model bisnis ‘wholesaler’ Rupiah Digital akan ditempuh, sehingga BI sebagai bank sentral akan lebih fokus pada penerbitan dan pengedaran mata uang virtual tersebut melalui Khazanah Digital Rupiah yang akan dibangun.
Lalu, pemanfaatan untuk transaksi ritel oleh masyarakat akan diserahkan kepada bank dan nonbank yang dipilih nantinya. Saat ini, BI juga melakukan kajian untuk pemilihan platform kompatibel.
Secara sederhana, pada tahap pertama, Proyek Garuda Rupiah Digital akan dimulai dengan ‘wholesale-CBDC’ untuk penerbitan, pemusnahan, dan transfer antar-bank.
Baca: Jack Ma Kasih Pesan Menohok ke Alibaba, Karyawan Kaget
Tahap kedua, wholesale-CBDC akan diperluas untuk mendukung operasi moneter dan pengembangan pasar keuangan.
Lalu, pada tahap ketiga, wholesale-CBDC akan berinteraksi dengan ritel-CBDC secara end-to-end atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum dalam kebutuhan transaksi sehari-hari.